Gilea, Aku senang!
Kalian tau Gilea? Enggak kan? Makanya, simak!!!
Gilea. dia adalah pawang buaya salah satu kebun
binatang di Medan. Keahliannya bisa membelah lautan pake tongsis kesayangannya.
Hobinya bikin aku kangen. Cita-citanya jadi suami orang yang dapat persetujuan dari
orang tuanya.
Wait.. kenapa aku memilih nama Gilea? Karena aku
suka sama wanita yang bernama “Milea Adnan Hussain” yang ada di novel terbaik
yang pernah aku baca (padahal baca novel baru dua kali). “Dilan. Dia adalah
dilanku tahun 1990 dan 1991” karyanya pidi baiq. Kalau aku ketemu sama Milea,
aku mau foto bareng. Fotonya aku jadikan display
picture di semua social media yang aku punya untuk seumur hidup. Walau
belum tau bagaimana wujud aslinya, aku tetap suka dan kagum. Bagaimana dengan
Gilea? Aku lebih suka dan lebih kagum. Selain dia seorang pawang buaya, dia
juga suka buat aku kangen. Sementara Milea hanya membuat aku kagum dan
penasaran. Buat Milea dan Gilea, dimanapun kalian berada sekarang, aku kagum,
aku kangen, dan aku penasaran.
Milea: “I’m your admirer”
Gilea: “I’m your pelawak hati”
Jangan tanya aku kenal Gilea dari
mana, karena kalian juga belum perrnah mendapat pertanyaan dari mana awalnya
kalian mengenal orang tua kalian. Ya kan? Iya! Gak usah bohong.
“halloooo” kataku. Dari chat line. Kenapa? Salah? Emang harus
dari telfon baru boleh bilang hallo?
“hollaaa” balasnya cepat.
“anak mana?” kubalas lebih cepat.
“anak? Belum
punya. Rencana buat aja juga belum ada”
jawabnya
ditambah emoticon mengejek.
(fix, anak ini bisa diajak bercanda. Aku suka.
Karena aku juga)
“maksudnya,
tinggal dimana? Gitu..”
jawabku jengkel.
“di jermal IV.
Tau?”
katanya seolah-olah menantang pengetahuanku soal
daerah di medan.
“tau! Deket
soalnya”
kujawab santai.
“anak mana
emang?”
dia
nanya balik. Memastikan rumah kami deket atau enggak.
“anak? Belum
punya”
aku jawab dengan serius, dalem hati bercanda.
“kenapa belum
punya"?”
Dia balik nanya. Sepertinya dia meladeni aku yang
sedang bercanda.
“iya. Soalnya
kamu juga belum punya rencana buat kan? Entar kalo uda siap, kita buat ya..”
Aku jawab tanpa emoticon biar keliatan serius.
Padahal bercanda.
“hahaha..
ada-ada aja”
dia ketawa dalam bentuk tulisan. Gak tau aslinya.
Mungkin mukanya datar.
“haha”
aku bales ketawa juga. Aslinya, aku beneran ketawa.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk
menetapkan dia sebagai teman yang bisa diajak bercanda. Dan aku senang. Gak tau
Gileanya gimana. Itu urusan dia. Seandainya dia senang, aku lebih.
Kalo ada waktu, aku chat dia. Kalo
gak ada waktu, aku berusaha cari waktu untuk bisa chat sama dia. Dia juga
sebaliknya, kalo dia ada waktu, dia bales chat aku. Kalo gak ada waktu, dia
berdoa supaya aku juga gak ada waktu buat ngechat dia. Mungkin dia gak suka
chat sama aku. Mungkin. Aku gak tau. Karena yang aku tau sekarang, aku senang kalo
dia bales chat aku.
Tanpa lama menyadari itu semua, aku
tau dia juga senang chat sama aku. Terbukti dengan satu harian kami bercerita
lewat chat. Nyambung. Seru. Sampai di satu sesi dia bilang kali kalo aku itu
pelawak hatinya. Spontan aja aku baper. Uda bawa-bawa hati soalnya. Entah
karena aku yang memulai atau memang kesadaran dia yang bisa bilang kaya gitu.
Fix, aku senang.
Bosan dari chat, aku telfon dia.
“hallo, dengan
Gilea saya berbicara?”
“bukan, ini
adminnya Gilea”
“oh adminnya.
Bilang ke Gilea kalo saya mau bicara”
“oke, ntar..” seolah-olah dia manggil Gilea. Padahal aku yakin,
admin itu adalah Gilea.
“iya.. saya
Gilea. Ini siapa ya?”
“pelawak hatimu”
“hahahhaha”dia ketawa. “dasar,
pelawak hatiku!”
“hehehe.. lagi
ngapain?”
“lagi telponan, lah”
“oh, berarti uda
gak bernapas lagi nih?”
“ih.. bernapas
lah..”
“besok aku main
ke rumah ya..”
“main kok ke
rumah. Tuh, taman kanak-kanak. Uda gedek kok masih main”
Dia merepet sendiri. Keliatannya bercanda. Tapi aku
gak tau.
“yaudah. Aku
main ke taman kanak-kanak aja besok ya..” kujawab
serius.
“aku gak
diajak?” katanya pelan.
“enggak. Nanti
aja kalo aku uda dewasa, terus kita punya anak, setelah itu kita antar anak
kita ke taman kanak-kanak. Kita bermain bersama”
Kujawab dengan sedikit intonasi tertawa diakhirnya.
“haha.. kamu
ini. Pantesan aju aku manggil kamu pelawak hatiku.”
Jawabnya kekeh
Gak terasa, 2 jam lebih 60 menit
kami cerita lewat telfon. Sampai akhirnya membawa kami pada situasi mata yang
mulai redup dan hati yang sedang senang-senangnya. Selamat malam Gilea. Aku
senang.
Besoknya aku datang ke rumahnya dia.
Sekalian pengen jumpa untuk pertama kalinya. Selama ini cuma lewat foto yang
dia pap (post a picture) kalo kami
lagi chattingan. Selain itu, pengen kenal sama keluarganya dia. Kata Gilea, dia
tinggal sama kakak kandungnya yang uda menikah dan punya satu orang anak.
Namanya namine. Aku uda liat dia. Dari foto juga. Waktu Gilea ngepap juga. Anaknya lucu dan gemesin.
Aslinya Gilea bukan di Medan. Dia anak Siantar, Sumatera Utara.
Dengan alamat yang sudah jelas, aku
datang ke rumah dia. Akhirnya aku disambut sama orang yang selama ini buat aku
senang. Gilea. Gak jauh beda foto sama aslinya. Sama-sama punya hidung, mata,
rambut, kaki, dan tangan. Bedanya, kalo difoto dia keliatan gak bernafas.
Aslinya, jelas, lah, bernafas juga.
“sini
masuk” perintah dia sembari membukakan pintu hatinya pagar rumahnya.
Aku masuk dengan perasaan senang
yang tersisa ketika aku pertama kenal dia.
“di
luar atau di dalam?”
“di
luar aja. Biar segar” kataku.
Kebetulan cuaca hari itu lagi senang-senangnya sama
alam. Sama kayak aku ke Gilea saat itu.
“mau minum?” dia nanyak.
“gak usah. Aku
gak peminum. Dosa. Hehe” kujawab
bercanda.
“huft.. dasar
pelawak hati!” dia menjawab sambil
pergi masuk mengambilkan air minum.
“ini, minum!” sambil meletakkan gelas yang uda berisi sirup
kurnia.
“iya, makasih” jawabku. “gak
ada racun nya kan? Hehehe. Canda.”
“ADA! NANTI KALO
KAMU MINUM, KAMU PUNYA RASA YANG BEDA” dia
menjawab seakan dalam minuman tersebut memang ada sesuatu.
“iya, kok jadi
beda, ya..” kutanya heran.
“loh, beda?
Apanya yang beda?” dia nanya
panik.
“iya beda.
Soalnya ini masih sirupnya doang. Belum dicampur air. Kental. Hhe”
Kujawab dengan cengengesan.
“dasar pelawak
hatiiiiii!!!!!” dia bentak denga
rasa jengkel di dialamnya.
Aku Cuma ketawa.
Ya, kami cerita panjang lebar. Sampai akhirnya aku
ketemu sama kakaknya Gilea. Aku salim kakaknya dia. Berharap abang iparnya gak
cemburu. “reza, kak” kataku. “ohiya.. enakin aja, ja” kata kakaknya sambil
berlalu pergi meninggalkan kami berdua di teras rumahnya. (((Enakin aja, ja))).
Entah apa yang harus aku enakin. Adiknya, atau minumannya. Tapi aku lebih
menikmati waktu berdua cerita sama dia. Seru.
Sesekali Namine datang menghampiri kami yang sedang
bercerita. Seakan dia terlihat caper dengan gaya dan tingkah lakunya yang membuat
aku gemes dan pengen nyubit mamanya pipinya. Tapi, sorry, Namine,
tantemu (Gilea) lebih buat aku senang. Pergi sana, nikmati masa kecil mu. Aku menyukai
tantemu. Dengan begitu, aku juga akan suka denganmu.
Gak terasa uda hamir 4 jam aku cerita bareng Gilea. Permulaan
yang sangat bagus dan berkesan. Rasanya lebih nyaman cerita di rumah daripada
harus nongkrong di cafe. Karena sesungguhnya cafe yang membuat aku nyaman
adalah cafelaminan bareng Gilea. *halaaahhh..
“hei, aku pulang
dulu ya” kataku pamit
“pulangnya dulu?
Gak sekarang?” dia nanya ngeledek..
“hei, aku pulang
sekarang ya” kuperbaiki kata
pamitku.
“oke. Aku panggil
kak fajar dulu ya”
“panggilnya
dulu? Gak sekarang?” kubales ledekan
dia.
“dasar pelawak
hati!!!” jawabnya malu. “bentar”.
“kak, pamit
pulang dulu” kusalim kak fajar yang
baru datang.
“sekarang” sambung Gilea yang berdiri di sebelah kakaknya.
“iya kak.. pamit
sekarang ya..” ku ulangi.
“kok gak dari
tadi? Hehehe.. becanda. Yauda hati-hati ya, ja..” kata kak fajar.
“iya kak” jawabku.
“bye kak fajar. Bye
namine” kataku dalam hati. Khusus
Gilea, aku gak mau pamit. Karena aku belum mau pisah sama dia. Walau raga pergi
meninggalkan, hati tetap pada pendirian dalam hatinya. Makasih Gilea, uda buat
aku kayak gini. Aku senang.
Setelah pertemuan pertama itu, kami semakin dekat. Yang
membawa kami kepada satu pelabuhan perasaan. Sayang. Ah, uda trauma deh, ada
rasa saying tapi gak ada hubungan. Takut. Yaudah, menurut aku, Gilea adalah
orang yang pas buat ngatasi rasa takut aku.
Malam itu, 23 Agustus 2015 aku telfon dia seperti
biasa.
“hallo, ini
Gilea?”
“bukan.. ini
pawang buaya”
“tapi aku mau
ngomong sama Gilea. Bisa?”
“gabisa. Gilea
nya lagi sayang sama buaya nya. Makanya aku mau ngomong sama buaya nya”
“disini gak ada
buaya. Maaf”
“kamu laki-laki?”
“iya”
“buaya , dong..”
“…”
Ah.. sial. Gilea kayanya makin asik
diajak bercanda. Oke, aku ladeni sekarang.
“eh,
buaya itu gak semua jantan, loh.. ada betina nya juga” kujawab santai.
“emang
bener. Aku juga buaya. Tapi pawangnya. Hahaha”
“kalo
begitu, buaya juga sayang sama pawang nya. Jadian, yuk..”
“hayuk.
Mau jadi apa? Tetep jadi buaya, pelawak hatiku, atau pacarku?” dia nawarin.
“jadi
apa aja. Yang penting kita bisa saling sayang. Hehehe”
“jadi
pacarku yang kayak buaya aja gimana?”
“gak
papa. Oke”
“love
you”
“love
you too, Gilea”
Yak! Saat itu aku sama Gilea jadian.
Gimana hubungan aku sama Gilea
selanjutnya? Nanti aku cerita lagi, ya. Aku mau tidur dulu. Selamat malam
Gilea. Aku sayang kamu!
0 comments