­

Gilea, Aku senang!

by - November 21, 2015

Kalian tau Gilea? Enggak kan? Makanya, simak!!!
Gilea. dia adalah pawang buaya salah satu kebun binatang di Medan. Keahliannya bisa membelah lautan pake tongsis kesayangannya. Hobinya bikin aku kangen. Cita-citanya jadi suami orang yang dapat persetujuan dari orang tuanya.
Wait.. kenapa aku memilih nama Gilea? Karena aku suka sama wanita yang bernama “Milea Adnan Hussain” yang ada di novel terbaik yang pernah aku baca (padahal baca novel baru dua kali). “Dilan. Dia adalah dilanku tahun 1990 dan 1991” karyanya pidi baiq. Kalau aku ketemu sama Milea, aku mau foto bareng. Fotonya aku jadikan display picture di semua social media yang aku punya untuk seumur hidup. Walau belum tau bagaimana wujud aslinya, aku tetap suka dan kagum. Bagaimana dengan Gilea? Aku lebih suka dan lebih kagum. Selain dia seorang pawang buaya, dia juga suka buat aku kangen. Sementara Milea hanya membuat aku kagum dan penasaran. Buat Milea dan Gilea, dimanapun kalian berada sekarang, aku kagum, aku kangen, dan aku penasaran.
Milea: “I’m your admirer”
Gilea: “I’m your pelawak hati”
            Jangan tanya aku kenal Gilea dari mana, karena kalian juga belum perrnah mendapat pertanyaan dari mana awalnya kalian mengenal orang tua kalian. Ya kan? Iya! Gak usah bohong.
“halloooo” kataku. Dari chat line. Kenapa? Salah? Emang harus dari telfon baru boleh bilang hallo?
“hollaaa” balasnya cepat.
“anak mana?” kubalas lebih cepat.
“anak? Belum punya. Rencana buat aja juga belum ada”
 jawabnya ditambah emoticon mengejek.
(fix, anak ini bisa diajak bercanda. Aku suka. Karena aku juga)
“maksudnya, tinggal dimana? Gitu..”
jawabku jengkel.
“di jermal IV. Tau?”
katanya seolah-olah menantang pengetahuanku soal daerah di medan.
“tau! Deket soalnya”
kujawab santai.
“anak mana emang?”
 dia nanya balik. Memastikan rumah kami deket atau enggak.
“anak? Belum punya”
aku jawab dengan serius, dalem hati bercanda.
“kenapa belum punya"?”
Dia balik nanya. Sepertinya dia meladeni aku yang sedang bercanda.
“iya. Soalnya kamu juga belum punya rencana buat kan? Entar kalo uda siap, kita buat ya..”
Aku jawab tanpa emoticon biar keliatan serius. Padahal bercanda.
“hahaha.. ada-ada aja”
dia ketawa dalam bentuk tulisan. Gak tau aslinya. Mungkin mukanya datar.
“haha”
aku bales ketawa juga. Aslinya, aku beneran ketawa.

            Sejak saat itu aku memutuskan untuk menetapkan dia sebagai teman yang bisa diajak bercanda. Dan aku senang. Gak tau Gileanya gimana. Itu urusan dia. Seandainya dia senang, aku lebih.
            Kalo ada waktu, aku chat dia. Kalo gak ada waktu, aku berusaha cari waktu untuk bisa chat sama dia. Dia juga sebaliknya, kalo dia ada waktu, dia bales chat aku. Kalo gak ada waktu, dia berdoa supaya aku juga gak ada waktu buat ngechat dia. Mungkin dia gak suka chat sama aku. Mungkin. Aku gak tau. Karena yang aku tau sekarang, aku senang kalo dia bales chat aku.
            Tanpa lama menyadari itu semua, aku tau dia juga senang chat sama aku. Terbukti dengan satu harian kami bercerita lewat chat. Nyambung. Seru. Sampai di satu sesi dia bilang kali kalo aku itu pelawak hatinya. Spontan aja aku baper. Uda bawa-bawa hati soalnya. Entah karena aku yang memulai atau memang kesadaran dia yang bisa bilang kaya gitu. Fix, aku senang.
            Bosan dari chat, aku telfon dia.
“hallo, dengan Gilea saya berbicara?”
“bukan, ini adminnya Gilea”
“oh adminnya. Bilang ke Gilea kalo saya mau bicara”
“oke, ntar..” seolah-olah dia manggil Gilea. Padahal aku yakin, admin itu adalah Gilea.
“iya.. saya Gilea. Ini siapa ya?”
“pelawak hatimu”
“hahahhaha”dia ketawa. “dasar, pelawak hatiku!”
“hehehe.. lagi ngapain?”
“lagi telponan, lah”
“oh, berarti uda gak bernapas lagi nih?”
“ih.. bernapas lah..”
“besok aku main ke rumah ya..”
“main kok ke rumah. Tuh, taman kanak-kanak. Uda gedek kok masih main”
Dia merepet sendiri. Keliatannya bercanda. Tapi aku gak tau.
“yaudah. Aku main ke taman kanak-kanak aja besok ya..” kujawab serius.
“aku gak diajak?” katanya pelan.
“enggak. Nanti aja kalo aku uda dewasa, terus kita punya anak, setelah itu kita antar anak kita ke taman kanak-kanak. Kita bermain bersama”
Kujawab dengan sedikit intonasi tertawa diakhirnya.
“haha.. kamu ini. Pantesan aju aku manggil kamu pelawak hatiku.”
Jawabnya kekeh

            Gak terasa, 2 jam lebih 60 menit kami cerita lewat telfon. Sampai akhirnya membawa kami pada situasi mata yang mulai redup dan hati yang sedang senang-senangnya. Selamat malam Gilea. Aku senang.
            Besoknya aku datang ke rumahnya dia. Sekalian pengen jumpa untuk pertama kalinya. Selama ini cuma lewat foto yang dia pap (post a picture) kalo kami lagi chattingan. Selain itu, pengen kenal sama keluarganya dia. Kata Gilea, dia tinggal sama kakak kandungnya yang uda menikah dan punya satu orang anak. Namanya namine. Aku uda liat dia. Dari foto juga. Waktu Gilea ngepap juga. Anaknya lucu dan gemesin. Aslinya Gilea bukan di Medan. Dia anak Siantar, Sumatera Utara.
            Dengan alamat yang sudah jelas, aku datang ke rumah dia. Akhirnya aku disambut sama orang yang selama ini buat aku senang. Gilea. Gak jauh beda foto sama aslinya. Sama-sama punya hidung, mata, rambut, kaki, dan tangan. Bedanya, kalo difoto dia keliatan gak bernafas. Aslinya, jelas, lah, bernafas juga.
            “sini masuk” perintah dia sembari membukakan pintu hatinya pagar rumahnya.
            Aku masuk dengan perasaan senang yang tersisa ketika aku pertama kenal dia.
            “di luar atau di dalam?”
            “di luar aja. Biar segar” kataku.
Kebetulan cuaca hari itu lagi senang-senangnya sama alam. Sama kayak aku ke Gilea saat itu.
“mau minum?” dia nanyak.
“gak usah. Aku gak peminum. Dosa. Hehe” kujawab bercanda.
“huft.. dasar pelawak hati!” dia menjawab sambil pergi masuk mengambilkan air minum.
“ini, minum!” sambil meletakkan gelas yang uda berisi sirup kurnia.
“iya, makasih” jawabku. “gak ada racun nya kan? Hehehe. Canda.”
“ADA! NANTI KALO KAMU MINUM, KAMU PUNYA RASA YANG BEDA” dia menjawab seakan dalam minuman tersebut memang ada sesuatu.
“iya, kok jadi beda, ya..” kutanya heran.
“loh, beda? Apanya yang beda?” dia nanya panik.
“iya beda. Soalnya ini masih sirupnya doang. Belum dicampur air. Kental. Hhe”
Kujawab dengan cengengesan.
“dasar pelawak hatiiiiii!!!!!” dia bentak denga rasa jengkel di dialamnya.
Aku Cuma ketawa.

Ya, kami cerita panjang lebar. Sampai akhirnya aku ketemu sama kakaknya Gilea. Aku salim kakaknya dia. Berharap abang iparnya gak cemburu. “reza, kak” kataku. “ohiya.. enakin aja, ja” kata kakaknya sambil berlalu pergi meninggalkan kami berdua di teras rumahnya. (((Enakin aja, ja))). Entah apa yang harus aku enakin. Adiknya, atau minumannya. Tapi aku lebih menikmati waktu berdua cerita sama dia. Seru.
Sesekali Namine datang menghampiri kami yang sedang bercerita. Seakan dia terlihat caper dengan gaya dan tingkah lakunya yang membuat aku gemes dan pengen nyubit mamanya pipinya. Tapi, sorry, Namine, tantemu (Gilea) lebih buat aku senang. Pergi sana, nikmati masa kecil mu. Aku menyukai tantemu. Dengan begitu, aku juga akan suka denganmu.
Gak terasa uda hamir 4 jam aku cerita bareng Gilea. Permulaan yang sangat bagus dan berkesan. Rasanya lebih nyaman cerita di rumah daripada harus nongkrong di cafe. Karena sesungguhnya cafe yang membuat aku nyaman adalah cafelaminan bareng Gilea. *halaaahhh..
hei, aku pulang dulu ya” kataku pamit
“pulangnya dulu? Gak sekarang?” dia nanya ngeledek..
“hei, aku pulang sekarang ya” kuperbaiki kata pamitku.
“oke. Aku panggil kak fajar dulu ya”
“panggilnya dulu? Gak sekarang?” kubales ledekan dia.
“dasar pelawak hati!!!” jawabnya malu. “bentar”.
“kak, pamit pulang dulu” kusalim kak fajar yang baru datang.
“sekarang” sambung Gilea yang berdiri di sebelah kakaknya.
“iya kak.. pamit sekarang ya..” ku ulangi.
“kok gak dari tadi? Hehehe.. becanda. Yauda hati-hati ya, ja..” kata kak fajar.
“iya kak” jawabku.

“bye kak fajar. Bye namine” kataku dalam hati. Khusus Gilea, aku gak mau pamit. Karena aku belum mau pisah sama dia. Walau raga pergi meninggalkan, hati tetap pada pendirian dalam hatinya. Makasih Gilea, uda buat aku kayak gini. Aku senang.
Setelah pertemuan pertama itu, kami semakin dekat. Yang membawa kami kepada satu pelabuhan perasaan. Sayang. Ah, uda trauma deh, ada rasa saying tapi gak ada hubungan. Takut. Yaudah, menurut aku, Gilea adalah orang yang pas buat ngatasi rasa takut aku.
Malam itu, 23 Agustus 2015 aku telfon dia seperti biasa.
“hallo, ini Gilea?”
“bukan.. ini pawang buaya”
“tapi aku mau ngomong sama Gilea. Bisa?”
“gabisa. Gilea nya lagi sayang sama buaya nya. Makanya aku mau ngomong sama buaya nya”
“disini gak ada buaya. Maaf”
“kamu laki-laki?”
“iya”
“buaya , dong..”
“…”
            Ah.. sial. Gilea kayanya makin asik diajak bercanda. Oke, aku ladeni sekarang.
            “eh, buaya itu gak semua jantan, loh.. ada betina nya juga” kujawab santai.
            “emang bener. Aku juga buaya. Tapi pawangnya. Hahaha”
            “kalo begitu, buaya juga sayang sama pawang nya. Jadian, yuk..”
            “hayuk. Mau jadi apa? Tetep jadi buaya, pelawak hatiku, atau pacarku?” dia nawarin.
            “jadi apa aja. Yang penting kita bisa saling sayang. Hehehe”
            “jadi pacarku yang kayak buaya aja gimana?”
            “gak papa. Oke”
            “love you”
            “love you too, Gilea”
            Yak! Saat itu aku sama Gilea jadian.
            Gimana hubungan aku sama Gilea selanjutnya? Nanti aku cerita lagi, ya. Aku mau tidur dulu. Selamat malam Gilea. Aku sayang kamu!



You May Also Like

0 comments